Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.
Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.
Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.
Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat2 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
" Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya, " lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.
Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.
Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, " Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?"
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,
Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.
Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,
Mario
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********
Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
" Mario, suamiku….
Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.
Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, " kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku ?"
Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu,
Rima"
Di surat yang lain,
"………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……"
Disurat yang kesekian,
"…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya…….."
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
"…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………"
Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
" Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……" Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Meisha,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ?
Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….
Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Minggu, 06 Mei 2012
Hukum dalam perdagangan elektronik (e-comerce)
Permasalahan hukum dalam perdagangan
elektronik adalah “ Bagaimanakah aspek hukum perjanjian transaksi electronik (Electronic Commerce) dalam hukum
perdagangan di Indonesia ? ”
Dikarenakan belum adanya aturan perundangan
(hukum positif) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi
elektronik (electronic commerce) ,
maka dibatasi pada beberapa aspek hukum dalam perdagangan di Indonesia yaitu
dengan menggunakan perspektif hukum perjanjian yang berlaku termasuk juga dari
KUHPerdata yang menjadi dasar atau sumber dari perikatan untuk adanya
kesepakatan melakukan transaksi perdagangan yang selama ini telah digunakan
sebagai dasar dari transaksi perdagangan konvensional .
Aspek hukum Perjanjian tersebut adalah :
1 Perjanjian dalam perdagangan
2 Legalitas Perjanjian perdagangan
A. Perjanjian dalam perdagangan
mengacu pada 2 prinsip
kebebasan sebagai prinsip klasik hukum ekonomi internasional :
1. Freedom of
Commerce atau prinsip kebebasan berniaga. Niaga ini diartikan luas dari
sekedar kebebasan berdagang (Freedom of
Trade). Niaga disini mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan
perekonomian dan perdagangan. Jadi setiap negara memiliki kebebasan untuk
berdagang dengan pihak atau negara manapun di dunia
2. Freedom of
Communication (kebebasan berkomunikasi, yaitu bahwa setiap negara memiliki
kebebasan untuk memasuki wilayah negara lain, baik melalui darat atau laut
untuk melakukan transaksitransaksi perdagangan internasional ( Huala Adolf,
1997: 26).
Sistem hukum Indonesia tentang perikatan yang
secara mendasar dibedakan menurut sifat perjanjiannya yaitu :
1.
Perjanjian Konsensuil -- perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah
cukup untuk timbulnya perjanjian.
2.
Perjanjian
Riil--perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok
perjanjian telah diserahkan
3.
Perjanjian Formil--adakalanya perjanjian yang konsensuil, adapula yang disaratkan oleh
Undang Undang, di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau
disertai formalitas tertentu ( J Satrio, 1995: 45).
Kegiatan perdagangan
adalah masuk dalam aspek hukum perdata dan sumbernya diatur dalam buku III KUHPerdata
yaitu tentang perikatan yang secara umum dapat dijelaskan bahwa perdagangan
terjadi karena adanya suatu kesepakatan antara para pihak dan kesepakatan
tersebut diwujudkan dalam suatu perjanjian dan menjadi dasar perikatan bagi
para pihak. Electronic data transmission dalam transaksi elektronik (ecommerce)
dapat diantisipasi dengan adanya sistem
pengamanan jaringan yang juga menggunakan kriptografi terhadap data dengan
menggunakan sistem pengamanan dengan Digital
Signature ( Arianto Mukti Wibowo, 1998). Digital Signature selain
sebagai sistem tekhnologi pengamanan berfungsi pula sabagai suatu prosedure
tekhnis untuk melakukan kesepakatan dalam transaksi elektronik atau standart
prosedure suatu perjanjian dalam transaksi elektronik , dari proses penawaran
hingga kesepakatan kesepakatan yang di buat para pihak.
Permasalahan Hukum E-Commerce
E-commerce merupakan model perjanjian
jualbeli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model
transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya
lokal tapi juga bersifat global. Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam
bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain:
1. otentikasi subyek
hukum yang membuat transaksi melalui internet;
2. saat perjanjian
berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
3. obyek transaksi yang
diperjualbelikan;
4. mekanisme peralihan
hak;
5. hubungan hukum dan
pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi
6. legalitas dokumen
catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti;
7. mekanisme
penyelesaian sengketa;
8. pilihan hukum dan
forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
Permasalahan seperti diatas, ternyata telah
diatur di Inggris yang didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara In
Re Charge Sevices Limited. Perkara tersebut berisi suatu analisis yuridis
mengenai hubungan-hubungan hukum yang tercipta apabila suatu card digunakan
untuk melakukan pembayaran. Dalam putusan tersebut, yang merupakan leading case
di Inggris, hakim Millet J memutuskan pembayaran dengan charge card/credit card
adalah pembayaran mutlak, bukan pembayaran bersyarat kepada pihak merchant.
Selain itu
Millet juga berpendapat, dalam penggunaan kartu, secara serempak bekerja tiga
perjanjian yang satu sama lain saling terpisah, yaitu:
1.
Perjanjian penjualan
barang dan/atau jasa antara pedagang.
2.
Perjanjian antara
pedagang dan perusahaan penerbit kartu yang berdasarkan perjanjian itu pedagang
yang bersangkutan setuju untuk menerima pembayaran yang menggunakan kartu.
3. Perjanjian
antara issuer dengan card holder.
Selama ini penggunaan charge card/credit card
di internet, ataupun di berbagai merchant secara offline, seperti di berbagai
pusat perbelanjaan memang rawan dari penyalahgunaan. Kerawanan ini terjadi sebab
pihak merchant dapat memperoleh nomor kartu kredit beserta masa berlakunya yang
tentunya dapat digunakan untuk melakukan transaksi e-commerce.
Perlindungan Kepentingan Konsumen
Ada beberapa permasalahan terhadap konsumen, akibat tidak jelasnya hubungan
hukum dalam transaksi e-commerce :
1.
mengenai
penggunaan klausul baku, kebanyakan transaksi di cyberspace ini, konsumen tidak
memiliki pilihan lain selain tinggal meng-click icon yang menandakan
persetujuannya atas apa yang dikemukakan produsen di website-nya, tanpa adanya
posisi yang cukup fair bagi konsumen untuk menentukan isi klausul.
2.
bagaimana
penyelesaian sengketa yang timbul. Para pihak dapat saja berada pada yurisdiksi
peradilan di negara yang berbeda. Untuk itu, diperlukan pula suatu sistem dan
mekanisme penyelesaian sengketa khusus untuk transaksitransaksi e-commerce
yang efektif dan murah.
3.
Hal lainnya
adalah masalah keamanan dan kerahasiaan data si konsumen. Hal ini berkaitan
juga dengan privasi dari kalangan konsumen.
Di Indonesia, perlindungan
hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang.
Perlindungan konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak
dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan
dalam e-commerce. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw
termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai
pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat
terjamin.
E-Commerce
telah memenuhi syarat syah perjanjian (1320 KUH Perdata), namun masih ada celah
hukum yakni pada syarat “kesepakatan” rentan adanya unsur penipuan dan
“kecakapan” ini sulit diketahui, dan untuk pembuktiannya menggunakan alat bukti
berupa “print out” dengan mendasarkan pada 1866 KUH Perdata, 164 HIR jo pasal
15 UU N0. 8 / 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Sebelum Cyberlaw terwujud, maka peraturan
perundangan lain yang terkait dengan internet / e-commerce dapat
digunakan untuk mengantisipasi persoalan-persoalan hukum yang timbul. Ada beberapa peraturan perundangan yang terkait antara lain: 1) UU larangan
parktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat No.5/ 1999 UU, 2) Perlindungan
Konsumen No. 8/ 1999, 3) UU Telekomunikasi No. 36/ 1999, 4) UU Hak Cipta No.12/
1997, 5) UU Merek No. 15/ 2001, 6) UU Dokumen Perusahaan No. 8/ 1997 (pasal 15)
jo Peraturan Pemerintah No.88/1999 tentang Tata Cara Pengalihan Dokumen Perusahaan,
SEMA No.39/TU/88/102/Pid, dan 7) RUU Pemanfaatan Tehnologi Informasi (RUU PTI).
Kesimpulannya adalah kehadiran TI yang berupa
internet membuat sector perdagangan di dalam dan di luar negeri semakin maju
pesat. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran transaksi e-commmerce dan
akan memperlancar system produktivitas dan pendistribusian barang / jasa dalam
memenuhi berbagai kebutuhan konsumen. Dalam transaksi e-commerce ini
banyak permasalahan hukum yang berkembang, sehingga pengaturan hukum yang jelas
dan tegas terhadap masalah transaksi e-commerce
sangat dibutuhkan sebagai jaminan perlindungan hukum bagi para pihak. Harapan
yang dikehendaki, dengan pengaturan hukum maka pemanfaatan TI akan semakin
optimal, terutama untuk kebutuhan transakasi e-commerce itu sendiri.
Mengamati hukum penjara dan denda bagi anak di bawah umur
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur
bahwa ancaman hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak
adalah ½ dari ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal
26 ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih berlaku
tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang saat ini banyak
diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Belum diaturnya
ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan pidana minimum dalam UU
ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu memang belum ada ketentuan pidana
yang memuat ancaman pidana minimum. UU yang memuat ancaman pidana minimum
sendiri baru lahir pada tahun yang sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu
sendiri, yaitu tahun 1997, tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
UU yang lahir 2 bulan setelah UU Pengadilan Anak.[1]
Kini lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut
disahkan telah banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana
minimum yang harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti
bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak tahun 1997
(daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak seluruhnya
merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak. Tindak pidana yang
diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak mungkin dilakukan oleh Anak dibawah
umur. Delik-delik yang memuat ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan
oleh anak misalnya narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU
ITE, kejahatan dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya.
Akan tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak
dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana minimum
bagi anak tetaplah penting untuk dijawab.
Atas kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali
memutus bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari
ancaman minimum yang ada dalam ketentuan terkait. Putusan Mahkamah Agung yang
sejauh ini ditemukan penulis yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi
anak diturunkan menjadi ½ dari ancaman yang tertera dalam pasal terkait adalah
putusan MA No. No. 695 K/Pid/2006 dengan terdakwa berinisial ‘M’ yang diputus
pada tanggal 12 April 2006. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa yang pada saat
itu berusia 16 tahun melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak dibawah umur melakukan perbuatan cabul. Perbuatan tersebut diancam dengan
Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman
penjara paling tinggi 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling
tinggi Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dalam perkara tersebut Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti
melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 tersebut dan dijatuhi hukuman penjara 3
tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Atas tuntutan tersebut Pengadilan Negeri
Praya dalam putusannya No. 157/Pid.B/2005/PN.Pra menyatakan Terdakwa terbukti
melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara selama 2
tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Mataram No. 04/Pid/2006/PT.MTR tanggal 25 Januari 2006.
Hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Praya tersebut khususnya pidana penjara, berada di bawah ancaman hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Penuntut Umum mendalilkan bahwa putusan judex facti salah karena tidak menerapkan ketentuan pidana minimum tersebut.
Permohonan Kasasi Penuntut Umum dikabulkan oleh MA dengan
majelis hakim yang terdiri dari Hakim Agung Iskandar Kamil, SH., sebagai Ketua
Majelis, dan M. Bahaudin Qaudry, SH., serta Prof. Dr. Kamiuddin Salle, SH.,
MH., sebagai anggota majelisnya. Namun pertimbangan MA dalam perkara ini justru
bertolak belakang dari dalil Penuntut Umum. Dalam putusannya MA justru
menurunkan hukuman khususnya hukuman denda dari Rp 60.000.000,00 menjadi Rp.
30.000.000,00 dengan pertimbangan bahwa ancaman pidana minimum adalah ½ dari
ancaman pidana minimum bagi orang dewasa, dengan menganalogikan ketentuan
pengurangan ancaman hukuman maksimum bagi terdakwa anak yang diatur dalam pasal
26 (1) UU 3 Tahun 1997 seperti tertuang dibawah ini:
Menimbang bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan
tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan
peraturan hukum/diterapkan tidak sebagaimana mestinya, karena berdasarkan pasal
26 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang
Pengadilan Anak tersebut, terhadap Terdakwa yang berumur 16 tahun tersebut
pidana penjara yang dapat dijaturhkan adalah ½ dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa ;
Karena ketentuan
pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ditentukan ancaman pidana penjara
kumulatif dengan pidana denda yaitu paling singkat 3 tahun dan denda paling
sedikit Rp 60.000.000,- maka secara analogis dengan Pasal 26 (1) Undang-Undang
No. 3 tahun 1997 tersebut, maka ancaman pidana minimum bagi anak adalah ½ nya
dari orang dewasa yaitu penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,-
Putusan MA tersebut bukan satu-satunya putusan yang menerapkan
atau menyatakan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½
dari ancaman yang tertera dalam pasal pidananya. Setahun berikutnya MA kembali
memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam putusan Nomor 2824 K/Pid/2006
yang diputus pada tanggal 31 Januari 2007 dengan terdakwa ‘SS’ yang berusia 14
tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini serupa dengan
dalam putusan No. 695 K/Pid/2006 di atas, yaitu pelanggaran atas pasal 82 UU
No. 23 Tahun 2003. Dalam perkara ini Pengadilan Negeri menjatuhi hukuman
terhadap terdakwa sesuai dengan pidana minimum yang diatur pasal 82 UU
Perlindungan Anak tersebut, yaitu penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp
60.000.000,00. Putusan judex facti tersebut dibatalkan oleh MA dengan komposisi
majelis hakim yang hampir sama dengan komposisi dalam perkara sebelumnya,
kecuali satu orang anggota yang berbeda yaitu Djoko Sarwoko yang ‘menggantikan’
posisi Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH., MH, sebagai anggota majelis.
Yang menarik, dalam perkara ini walaupun majelis kasasi
mempertegas bahwa ancaman pidana minimum untuk terdakwa anak dikurangi menjadi
½ namun dalam putusannya majelis kasasi bahkan tidak menjatuhkan hukuman
terhadap terdakwa, namun tindakan, yaitu mengembalikan terdakwa kepada orang
tuanya, mengingat usia terdakwa yang masih terlalu muda yaitu 14 tahun.
Pertimbangan mengenai berlakunya pengurangan ½ ancaman pidana minimum dalam
putusan ini seakan hanya ingin mempertegas putusan sebelumnya. Berikut
pertimbangan MA dalam perkara ini:
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie
telah salah menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya,
karena judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang
masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan
berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana
terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara bagi
orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling lama ½ dari
minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;
Oleh karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal 24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ;
Dua bulan setelah putusan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2007 MA kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam perkara No. 277 K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa ‘H’ yang diputus dengan majelis yang sama dengan perkara No. 2824 K/Pid/2006 sebelumnya. Serupa dengan perkara sebelumnya, perkara ini juga mengenai kekerasan seksual oleh anak-anak terhadap anak-anak. Dalam perkara ini MA membatalkan putusan judex facti yang menghukum terdakwa (17 tahun) dengan hukuman selama 4 tahun dan denda Rp 30.000.000,00 menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00.[2]
Dalam putusan yang lainnya MA kembali memperkuat ketiga pertimbangan putusan-putusan di atas yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi setengahnya. Kali ini dalam perkara nomor 1185 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa ‘NSAJ’ yang diputus pada tanggal 29 Nopember 2010. Dalam perkara ini terdakwa yang saat melakukan tindak pidana masih berusia 17 tahun juga didakwa dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara sesuai dengan ancaman minimum yaitu penjara 3 tahun dan denda Rp 60.000.000,00 oleh PN Slawi. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dimana PT menurunkan hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00. Atas putusan PT tersebut Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dengan alasan putusan PT menyalahi ketentuan pidana minimum yang ditetapkan UU Perlindungan Anak. Namun atas alasan tersebut majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua MA saat itu yaitu Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., sebagai ketua Majelis dan Prof. Rehngena Pubrba, SH, MS dan H. Djafni Djamal, SH., MH sebagai anggota majelis menyatakan bahwa putusan PT Semarang tersebut tidak salah dalam menerapkan hukum.
Sebagai catatan tambahan, sebenarnya penerapan pengurangan
ancaman pidana minimum bagi anak menjadi ½ sudah pernah dilakukan oleh
Pengadilan Tingkat Pertama jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 2000. Pada saat
itu PN Denpasar yang memeriksa dan memutus perkara nomor 183/Pid.B/2000/PN.Dps
dalam perkara Psikotropika (Pasal 59 ayat 1 sub e UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika) yang diancam dengan ancaman pidana penjara minimum 4 tahun
menjatuhi hukuman penjara terhadap terdakwa ‘DY’ yang masih berusia 17 tahun
dengan pidana penjara selama 2 tahun, atau ½ dari ancaman penjara minimum.
Namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar. PT Denpasar
kemudian mengkoreksi putusan PN tersebut menjadi sesuai dengan pidana minimum
yang diatur dalam pasal 59 ayat 1 sub e UU tersebut. Putusan PT ini kemudian
dikuatkan MA dalam putusannya nomor 2110 K/Pid/2001 yang diputus pada tanggal
19 Nopember 2003. Saat itu majelis hakim agung yang menangani perkara tersebut
adalah Abdul Kadir Mappong, SH sebagai ketua majelis, IB Ngurah Adnyana, SH dan
Usman Karim, SH sebagai anggota-anggota majelis. Di luar putusan ini belum
ditemukan lagi putusan lainnya yang serupa.
Dan pendapat saya mengenai situasi dan kondisi untuk menghadapi hukum
sanksi bagi anak di bawah umur adalah bagaimana harusnya hukum di Indonesia lebih
bijak lagi memilah dan memilih mana yang seharusnya di hukum dengan seberat-beratnya
dan mana yang seharusnya di beri kompensasi atau toleransi yang manusiawi,
karna seorang anak yang memang terbukti bersalah itu mungkin hanya memakai
insting seorang manusia yang belum bisa membedakan mana yang harus dilakukan
atau yang tak seharusnya tidak dilakukan, bisa saja ini factor orang tua mereka
yang kurang memperhatikan anak-anak mereka sendiri dan menjadikan mereka
menjadi liar, bukan hukuman atau sanksi sbenernya yang mereka perlukan untuk
bisa membuatnya jera, justru arahan dari kita, orang-orang yang lebih tua, yang
lebih faham bagaim,ana untuk mengajarkan mereka apa yang harus dan tak harus
dilakukannya .
Langganan:
Postingan (Atom)