Minggu, 06 Mei 2012

Mengamati hukum penjara dan denda bagi anak di bawah umur


Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa ancaman hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak adalah ½ dari ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal 26 ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih berlaku tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang saat ini banyak diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Belum diaturnya ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan pidana minimum dalam UU ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu memang belum ada ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum. UU yang memuat ancaman pidana minimum sendiri baru lahir pada tahun yang sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu sendiri, yaitu tahun 1997, tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU yang lahir 2 bulan setelah UU Pengadilan Anak.[1]
Kini lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut disahkan telah banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana minimum yang harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak tahun 1997 (daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak seluruhnya merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak. Tindak pidana yang diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak mungkin dilakukan oleh Anak dibawah umur. Delik-delik yang memuat ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan oleh anak misalnya narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, kejahatan dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya. Akan tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana minimum bagi anak tetaplah penting untuk dijawab.
Atas kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali memutus bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman minimum yang ada dalam ketentuan terkait. Putusan Mahkamah Agung yang sejauh ini ditemukan penulis yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi anak diturunkan menjadi ½ dari ancaman yang tertera dalam pasal terkait adalah putusan MA No. No. 695 K/Pid/2006 dengan terdakwa berinisial ‘M’ yang diputus pada tanggal 12 April 2006. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa yang pada saat itu berusia 16 tahun melakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak dibawah umur melakukan perbuatan cabul. Perbuatan tersebut diancam dengan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling tinggi 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling tinggi Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dalam perkara tersebut Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003 tersebut dan dijatuhi hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Atas tuntutan tersebut Pengadilan Negeri Praya dalam putusannya No. 157/Pid.B/2005/PN.Pra menyatakan Terdakwa terbukti melanggar pasal 82 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 60.000.000,00. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Mataram No. 04/Pid/2006/PT.MTR tanggal 25 Januari 2006.

Hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Praya tersebut khususnya pidana penjara, berada di bawah ancaman hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Atas dasar tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi. Penuntut Umum mendalilkan bahwa putusan judex facti salah karena tidak menerapkan ketentuan pidana minimum tersebut.
Permohonan Kasasi Penuntut Umum dikabulkan oleh MA dengan majelis hakim yang terdiri dari Hakim Agung Iskandar Kamil, SH., sebagai Ketua Majelis, dan M. Bahaudin Qaudry, SH., serta Prof. Dr. Kamiuddin Salle, SH., MH., sebagai anggota majelisnya. Namun pertimbangan MA dalam perkara ini justru bertolak belakang dari dalil Penuntut Umum. Dalam putusannya MA justru menurunkan hukuman khususnya hukuman denda dari Rp 60.000.000,00 menjadi Rp. 30.000.000,00 dengan pertimbangan bahwa ancaman pidana minimum adalah ½ dari ancaman pidana minimum bagi orang dewasa, dengan menganalogikan ketentuan pengurangan ancaman hukuman maksimum bagi terdakwa anak yang diatur dalam pasal 26 (1) UU 3 Tahun 1997 seperti tertuang dibawah ini:

Menimbang bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
 
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan peraturan hukum/diterapkan tidak sebagaimana mestinya, karena berdasarkan pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, terhadap Terdakwa yang berumur 16 tahun tersebut pidana penjara yang dapat dijaturhkan adalah ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;
 
Karena ketentuan pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ditentukan ancaman pidana penjara kumulatif dengan pidana denda yaitu paling singkat 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,- maka secara analogis dengan Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tersebut, maka ancaman pidana minimum bagi anak adalah ½ nya dari orang dewasa yaitu penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,-
 
Putusan MA tersebut bukan satu-satunya putusan yang menerapkan atau menyatakan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman yang tertera dalam pasal pidananya. Setahun berikutnya MA kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam putusan Nomor 2824 K/Pid/2006 yang diputus pada tanggal 31 Januari 2007 dengan terdakwa ‘SS’ yang berusia 14 tahun. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini serupa dengan dalam putusan No. 695 K/Pid/2006 di atas, yaitu pelanggaran atas pasal 82 UU No. 23 Tahun 2003. Dalam perkara ini Pengadilan Negeri menjatuhi hukuman terhadap terdakwa sesuai dengan pidana minimum yang diatur pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, yaitu penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00. Putusan judex facti tersebut dibatalkan oleh MA dengan komposisi majelis hakim yang hampir sama dengan komposisi dalam perkara sebelumnya, kecuali satu orang anggota yang berbeda yaitu Djoko Sarwoko yang ‘menggantikan’ posisi Prof. Dr. Kaimuddin Salle, SH., MH, sebagai anggota majelis.
Yang menarik, dalam perkara ini walaupun majelis kasasi mempertegas bahwa ancaman pidana minimum untuk terdakwa anak dikurangi menjadi ½ namun dalam putusannya majelis kasasi bahkan tidak menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, namun tindakan, yaitu mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya, mengingat usia terdakwa yang masih terlalu muda yaitu 14 tahun. Pertimbangan mengenai berlakunya pengurangan ½ ancaman pidana minimum dalam putusan ini seakan hanya ingin mempertegas putusan sebelumnya. Berikut pertimbangan MA dalam perkara ini:

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling lama ½ dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ;

Oleh karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal 24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ;

Dua bulan setelah putusan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2007 MA kembali memberikan pertimbangan yang serupa, yaitu dalam perkara No. 277 K/Pid.Sus/2007 dengan terdakwa ‘H’ yang diputus dengan majelis yang sama dengan perkara No. 2824 K/Pid/2006 sebelumnya. Serupa dengan perkara sebelumnya, perkara ini juga mengenai kekerasan seksual oleh anak-anak terhadap anak-anak. Dalam perkara ini MA membatalkan putusan judex facti yang menghukum terdakwa (17 tahun) dengan hukuman selama 4 tahun dan denda Rp 30.000.000,00 menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00.[2]

Dalam putusan yang lainnya MA kembali memperkuat ketiga pertimbangan putusan-putusan di atas yang menafsirkan bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi setengahnya. Kali ini dalam perkara nomor 1185 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa ‘NSAJ’ yang diputus pada tanggal 29 Nopember 2010. Dalam perkara ini terdakwa yang saat melakukan tindak pidana masih berusia 17 tahun juga didakwa dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 81 UU Perlindungan Anak dan dijatuhi pidana penjara sesuai dengan ancaman minimum yaitu penjara 3 tahun dan denda Rp 60.000.000,00 oleh PN Slawi. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dimana PT menurunkan hukumannya menjadi 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 30.000.000,00. Atas putusan PT tersebut Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi dengan alasan putusan PT menyalahi ketentuan pidana minimum yang ditetapkan UU Perlindungan Anak. Namun atas alasan tersebut majelis kasasi yang dipimpin oleh Ketua MA saat itu yaitu Dr. Harifin A Tumpa, SH., MH., sebagai ketua Majelis dan Prof. Rehngena Pubrba, SH, MS dan H. Djafni Djamal, SH., MH sebagai anggota majelis menyatakan bahwa putusan PT Semarang tersebut tidak salah dalam menerapkan hukum.
Sebagai catatan tambahan, sebenarnya penerapan pengurangan ancaman pidana minimum bagi anak menjadi ½ sudah pernah dilakukan oleh Pengadilan Tingkat Pertama jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 2000. Pada saat itu PN Denpasar yang memeriksa dan memutus perkara nomor 183/Pid.B/2000/PN.Dps dalam perkara Psikotropika (Pasal 59 ayat 1 sub e UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika) yang diancam dengan ancaman pidana penjara minimum 4 tahun menjatuhi hukuman penjara terhadap terdakwa ‘DY’ yang masih berusia 17 tahun dengan pidana penjara selama 2 tahun, atau ½ dari ancaman penjara minimum. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar. PT Denpasar kemudian mengkoreksi putusan PN tersebut menjadi sesuai dengan pidana minimum yang diatur dalam pasal 59 ayat 1 sub e UU tersebut. Putusan PT ini kemudian dikuatkan MA dalam putusannya nomor 2110 K/Pid/2001 yang diputus pada tanggal 19 Nopember 2003. Saat itu majelis hakim agung yang menangani perkara tersebut adalah Abdul Kadir Mappong, SH sebagai ketua majelis, IB Ngurah Adnyana, SH dan Usman Karim, SH sebagai anggota-anggota majelis. Di luar putusan ini belum ditemukan lagi putusan lainnya yang serupa.

Dan pendapat saya mengenai situasi dan kondisi untuk menghadapi hukum sanksi bagi anak di bawah umur adalah bagaimana harusnya hukum di Indonesia lebih bijak lagi memilah dan memilih mana yang seharusnya di hukum dengan seberat-beratnya dan mana yang seharusnya di beri kompensasi atau toleransi yang manusiawi, karna seorang anak yang memang terbukti bersalah itu mungkin hanya memakai insting seorang manusia yang belum bisa membedakan mana yang harus dilakukan atau yang tak seharusnya tidak dilakukan, bisa saja ini factor orang tua mereka yang kurang memperhatikan anak-anak mereka sendiri dan menjadikan mereka menjadi liar, bukan hukuman atau sanksi sbenernya yang mereka perlukan untuk bisa membuatnya jera, justru arahan dari kita, orang-orang yang lebih tua, yang lebih faham bagaim,ana untuk mengajarkan mereka apa yang harus dan tak harus dilakukannya

1 komentar:

  1. Maaf mengganggu, boleh dikirim ke email ku nizam_ungu@yahoo.co.id Putusan MA No. 695 K/Pid/2006 dan putusan Nomor No.157/Pid.B/2005/PN.Pra , saya sudah mencoba mencarinya tapi susah mendapatkannya. mohon bantuannya untuk bahan skripsi saya Terima kasih

    BalasHapus